Adakah "anak nakal" di dunia ini???
“ANAK NAKAL”, BISAKAH MEMILIKI
KARAKTER YANG BAIK?
“Anak
nakal” merupakan sebutan yang kerap sekali terdengar di telinga kita, baik itu
berasal dari teman, orang tua, bahkan guru sekalipun. Sebutan tersebut biasanya
diberikan kepada anak yang tidak bisa menurut aturan, tidak bisa diberi tahu,
bahkan sering membantah perintah orang dewasa.
Banyak
diantara orang dewasa atau bahkan orang tua yang menyebut dan memberikan label
“nakal” kepada anak, tidak selamanya bisa dibenarkan. Hal ini dikarenakan masa
kanak-kanak merupakan masa dimana anak bebas melakukan eksplorasi guna
mendapatkan pengetahuan yang belum mereka ketahui dan miliki. Proses inilah
yang terkadang mengharuskan anak melakukan kegiatan atau bertingkah layaknya
anak “nakal”. Padalah anak “nakal” yang sering didengung-dengungkan banyak
kalangan di sekeliling kita justru anak yang aktif dan kreatif, yang sebenarnya
merupakan manifestasi dari rasa keingintahuannya yang besar.
Sebelum
kita membahas secara lebih dalam mengenai anak nakal, tentunya kita pahami
terlebih dahulu mengenai istilah anak, nakal, dan anak nakal itu sendiri. Menurut
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Istilah “anak” dapat diartikan sebagai manusia yang masih
kecil, sedangkan “nakal” dapat diartikan suka berbuat kurang
baik (tidak menurut, mengganggu, dan sebagainya, terutama bagi anak-anak). Menurut
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Pasal 1, anak nakal yaitu anak yang melakukan
tindak pidana atau anak yang melakukan perbuatan yang dinyatakan terlarang bagi
anak, baik menurut peraturan perundang-undangan maupun menurut peraturan hukum
lain yang hidup dan berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan.
Merujuk dari definisi di atas, maka seharusnya
sebagai orang dewasa atau orang tua kita tidak boleh sembarangan memberikan
label dan menyebut mereka dengan istilah “nakal”. Tidak setiap anak yang aktif
dan kreatif termasuk nakal. Hanya kita sebagai orang tua yang kerap tidak paham
terhadap istilah tersebut, sehingga mulai sekarang seyogyanya setiap orang tua,
terlebih-lebih para ibu dan bapak mencoba mengubah mindset dan memberikan apresiasi terhadap anak yang kreatif
tersebut. Hindarkan menyebut anak “nakal”, karena ketika kita menyebut kata
tersebut kepada seorang anak, maka secara tidak langsung kita mendo’akan anak
tersebut menjadi anak nakal. Na’udzubillahi
min dzaalik. Selama seorang anak masih bisa bersikap, bertutur, dan
berperilaku sesuai dengan norma yang ada, meskipun dengan cara-cara mereka
sendiri, maka kita tidak boleh menjustifikasi
mereka dengan anak nakal. Justru seharusnya kita memberikan apresiasi
terhadap kreativitas mereka agar mereka dapat tumbuh dan berkembang menjadi
individu yang baik.
Apakah anak nakal bisa memiliki karakter yang
baik?
Sebuah pertanyaan yang kerap kali kita salah
dalam memberikan definisi yang jelas dan tepat. Menurut Mansur Muslich
(2010:70), karakter adalah cara berpikir dan berperilaku seseorang yang menjadi
ciri khas dari tiap individu untuk hidup dan bekerjasama, baik dalam keluarga,
masyarakat, dan negara. Pada dasarnya setiap manusia memiliki karakter baik,
dan merupakan karakter internal yang dibawa sejak manusia lahir. Karakter
inilah yang biasa disebut sebagai karakter baik atau karakter sejati yang
dibawa untuk mengarungi hidup.
Istilah anak “nakal” yang kerap didengungkan
tidak sepenuhnya benar, karena seorang anak pada dasarnya memiliki potensi yang
terus bertumbuh kembang. “Kenakalan” seorang anak bukan merupakan karakter yang
akan terus mereka bawa sampai dewasa bahkan tua, melainkan merupakan sebuah
proses untuk mendapatkan sebuah jati diri.
Orang menganggap anak yang tidak bisa diatur,
berkata kotor, selalu menentang, membuat keributan adalah anak yang memiliki
karakter buruk. Kebiasaan yang terjadi di sekitar kita, anak seperti ini
nantinya akan dikucilkan dan mendapatkan stigma negatif dari orang-orang
disekelilingnya. Lingkungan kita lebih suka terhadap anak-anak yang diam,
menurut, tidak suka membuat keributan, ketika diperintah selalu menuruti
perintah tersebut. Orang dewasa yang memiliki anggapan seperti ini kerap kecewa
karena ternyata anak yang dikatakan nakal justru anak yang memiliki potensi
lebih dan memiliki kecerdasan multi.
Seiring dengan proses pencarian jati diri, sebagai orang tua
tentunya harus dapat mendampingi anak, memberikan knowledge serta menanamkan sikap positif pada diri anak.
Pembantahan yang dilakukan anak, justru harus mendapatkan feedback yang positif dan membangun. Semisal anak diminta orang tua
untuk belajar, kerap kali kita jumpai anak tersebut membantah dengan berbagai
alasan yang menurut mereka benar. Sebagai orang tua, ketika mendapati kondisi
seperti itu maka cara yang bijaksana adalah memberikan motivasi agar anak bisa
belajar, bukan menakut-nakuti mereka dengan sebuah prestasi jelek ketika mereka
tidak mau belajar. Dengan memberikan motivasi positif tentang manfaat belajar
bagi mereka di kehidupan yang akan datang, bisa dipastikan anak akan memiliki mindset positif pula. Cara seperti ini
ketika secara continue dilakukan para
orang tua, maka karakter akan terbentuk karakter yang kuat serta selalu
berpikir positif.
Contoh lain ketika anak lebih memilih gadget untuk game dibandingkan
dengan pemanfaatannya untuk kepentingan pembelajaran. Orang tua tentunya tidak
boleh langsung emosi dan meng-cut
interaksi anak dan gadget, melainkan
bisa menyikapi dengan lebih bijak. Apabila anak dibiarkan terlalu intens dengan
perangkat tersebut, maka tidak mustahil seorang anak akan memiliki karakter
yang lemah. Meskipun demikian juga tidak semata-mata dibenarkan orang tua
bersikap sangat ekstrim dan otoriter melarang anak mengoperasikan gadget sama sekali. Lalu, Bagaimana
solusi yang bisa dilakukan agar anak bisa tercover
dalam memanfaatkan gadget namun
dengan keikhlasan mereka?
Hal ini tidak mudah, karena orang tua seharusnya menjadi
panutan dan memberikan teladan kepada anak untuk membatasi interaksi dengan
perangkat tersebut. Tidak mengoperasikan gadget
pada saat membersamai anak, memberikan penanaman mengenai dampak negatif dan
positif dari perangkat tersebut, baik terhadap kesehatan fisik maupun
psikologi, tentunya disesuaikan dengan daya serap si anak. Pembiasaan seperti
ini akan sangat efektif dalam pembentukan karakter yang baik pada diri anak
bila dibandingkan dengan larangan-larangan. Pada diri anak akan tertanam rasa
tanggungjawab dalam penggunaan gadget meskipun
tidak selalu diawasi dan didampingi oleh orang tua. Apabila orang tua hanya
memberikan larangan, si anak bukan menjadi nurut akan tetapi
justru akan memicu sebuah pelanggaran, mencari celah di saat orang tua tidak
mengawasi mereka atau di saat orang tua terlena dalam pengawasan.
Komentar
Posting Komentar