Bentuk Layanan Integrasi/Terpadu

 

Pendahuluan

Bentuk layanan pendidikan integrasi (mainstreaming) seringkali disebut dengan istilah sekolah terpadu. Bentuk layanan pendidikan ini merupakan integrasi sosial, instruksional dan temporal anak berkebutuhan khusus dengan teman-teman lainnya yang “normal”, yang didasarkan pada kebutuhan pendidikan yang diukur secara individual. Pada pelaksanaanya memerlukan klasifikasi tanggung jawab koordinasi dalam penyusanan program oleh tim dari berbagai profesi dan disiplin (Kauffman, Gottlieb, Agard dan Kukic, 1975). Anak-anak berkebutuhan khusus dapat belajar di kelas umum dengan syarat harus mampu mengikuti kegiatan di kelas tersebut dan kurikulum yang digunakan sama dengan anak lainnya.

Pada sistem keterpaduan secara penuh dan sebagian, jumlah anak berkebutuhan khusus dalam satu kelas dalam jumlah tertentu dari jumlah siswa keseluruhan. Hal ini untuk menjaga beban guru kelas tidak terlalu berat, dibanding jika guru harus melayani berbagai macam jenis anak berkebutuhan khusus.

Untuk membantu kesulitan yang dialami oleh anak berkenutuhan khusus, di sekolah terpadu disediakan Guru Pembimbing Khusus (GPK). GPK dapat berfungsi sebagai konsultan bagi guru kelas, kepala sekolah atau anak berkebutuhan khusus itu sendiri. Selain itu GPK juga berfungsi sebagai pembimbing di ruang bimbingan khusus atau guru kelas pada kelas khusus.

Ada 3 bentuk keterpaduan dalam layanan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus menurut Depdiknas (1986), ketiga bentuk tersebut yaitu:
  1. Kelas Biasa
  2. Kelas Biasa dengan Ruang Bimbingan Khusus
  3. Bentuk Kelas Khusus.

Kelas Biasa

Di kelas biasa ini, ABK bersama-sama dengan siswa pada umumnya terlibat dalam proses belajar mengajar dan secara penuh menggunakan kurikulum dimana sekolah tersebut berlaku. Dalam keterpaduan ini, guru pembimbing khusus hanya berfungsi sebagai konsultan bagi kepala sekolah, guru kelas/guru bidang studi, atau orang tua anak berkebutuhan khusus. Sebagai konsultan, guru pembimbing khusus berfungsi sebagai penasehat kurikulum, maupun permasalahan dalam mengajar anak berkebutuhan khusus. Oleh karena itu perlu disediakan ruang konsultasi untuk guru pembimbing khusus.

Pendekatan, metode, cara penilaian yang digunakan pada kelas biasa ini tidak berbeda dengan yang digunakan dalam seolah umum. Kalaupun terdapat penyesuaian untuk beberapa kasus ringan saja atau sangat memungkinkan dilakukan oleh guru. Misalnya, untuk anak tunanetra untuk pelajaran menggambar, matematika, menulis, membaca, perlu disesuaikan dengan kondisi anak. Untuk anak tunarungu mata pelajaran kesenian, bahasa asing/bahasa Indonesia (lisan) perlu disesuaikan dengan kemampuan wicara anak. Bentuk keterpaduan ini sering juga disebut dengan keterpaduan penuh.


Kelas Biasa dengan Ruang Bimbingan Khusus

Pada kelas ini, ABK belajar di kelas biasa dengan menggunakan kurikulum dimana sekolah tersebut berlaku serta mengikuti pelayanan khusus untuk mata pelajaran tertentu yang tidak dapat diikuti oleh anak berkebutuhan khusus bersama dengan anak reguler.

Pelayanan khusus tersebut diberikan di ruang bimbingan khusus oleh guru pembimbing khusus (GPK) dengan menggunakan pendekatan individual dan metode peragaan yang sesuai. Untuk keperluan tersebut di ruang bimbingan khusus dilengkai dengan peralatan khusus untuk memberikan latihan dan bimbingan khusus. Misalnya untuk anak tunanetra, di ruang bimbingan khusus disediakan alat tulis braille, peralatan orientasi mobilitas. Keterpaduan pada tingkat ini sering disebut juga keterpaduan sebagian.

Kelas Khusus


ABK mengikuti pendidikan sama dengan kurikulum di SLB secara penuh di kelas khusus pada sekolah umum yang melaksanakan program pendidikan tepadu. Keterpaduan ini disebut juga dengan keterpaduan lokal/bangunan atau keterpaduan yang bersifat sosialisasi.

Pada tingkat keterpaduan ini, guru pembimbing khusus berfungsi sebagai pelaksana program di kelas khusus. Pendekatan, metode, dan cara penilaian yang digunakan adalah pendekatan, metode, dan cara penilaian yang digunakan di SLB. Keterpaduan pada tingkat ini hanya bersifat fisik dan sosial, yang artinya anak berkebutuhan khusus yang dipadukan untuk kegiatan yang bersifat non akademik, seperti olah raga, ketrampilan, juga sosialisasi pada waktu jam-jam istirahat atau acara lain yang diadakan oleh sekolah.

Pada kelas khusus, biasanya terdapat beberapa siswa yang memiliki derajat kekhususan yang relatif sama. Untuk menanganinya digunakan pembelajaran individual (individualized instruction) karena masing-masing anak memiliki kekhususan. Tujuan pembentukan kelas khusus adalah untuk membantu anak-anak agar tidak terjadi tinggal kelas/drop out atau untuk menemukan gejala keluarbiasaan secara dini pada anak-anak SD. Dalam praktiknya kelas khusus bersifat fleksibel.

Kelebihan kelas khusus adalah sebagai berikut:
  • Siswa berkebutuhan khusus dapat bermain bersama-sama dengan siswa pada umumnya. Ini berarti ada proses sosialisasi sedini mungkin, saling mengenal antara siswa berkebutuhan khusus dengan anak-anak pada umumnya, begitu pula sebaliknya. Ini akan berdampak baik pada pertumbuhan sikap siswa-siswa tersebut, yang akan bermanfaat pula kelak jika mereka telah dewasa.
  • Siswa berkebutuhan khusus mendapatkan suasana yang lebih positif, karena di sekolah umum ada lebih banyak siswa dibanding SLB.
  • Siswa berkebutuhan khusus dapat membangun rasa percaya diri yang lebih baik.
  • Siswa berkebutuhan khusus dapat bersekolah di mana saja, bahkan sekolah yang dekat dengan tempat tinggalnya; jadi tidak perlu terpisah dari keluarga mereka.
  • Dari sisi kurikulum, dengan menempuh pendidikan di sekolah umum, anak berkebutuhan khusus akan mendapatkan materi pelajaran yang sama dengan siswa pada umumnya.
  • Potensi anak dapat lebih cepat berkembang karena pembelajarannya menggunakan pendekatan individual atau kelompok kecil
Di samping kelebihan terdapat juga kelemahannya, antara lain adalah sebagai berikut:
  •  Anak berkebutuhan khusus kadang-kadang masih mendapatkan stigma negatif dari sebagian temannya sehingga dapat mengganggu perkembangan psikologisnya yang berdampak pada perkembangan belajarnya.
  • Anak berkebutuhan khusus dalam bersosialisasi kadang-kadang masih enggan untuk bergaul dengan mereka yang bukan kategori anak berkebutuhan khusus.
  • Sebahagian orangtua kadang-kadang tidak terima bila anaknya dicap sebagai anak berkebutuhan khusus apalagi kalau dikelompokkan dengan sesama anak berkebutuhan khusus dalam kelas khusus.
  • Siswa anak berkebutuhan khusus harus menyesuaikan diri dengan metode pengajaran dan kurikulum yang ada.

Komentar

Postingan Populer